Pages

Subscribe:

Selasa, 29 Mei 2012

KONSELOR YANG EFEKTIF DAN PROFESIONAL


KONSELOR YANG EFEKTIF DAN PROFESIONAL

PENGANTAR
Satu instrument yang paling penting yang harus digunakan sebagai seorang konselor adalah diri kita sendiri sebagai pribadi. Untuk menyiapkan konseling kita dapat mengambil pengetahuan yang kita dapat dari teori kepribadian dan psikoterapi, kita dapat mempelajari teknik diagnostik dan teknik intervensi, dan kita dapat belajar tentang dinamika perilaku manusia. Biarpun pengetahuan serta ketrampilan adalah hal yang esensil, hal itu belum mencukupi kebutuhan untuk menjalin hubungan antar terapi yang efektif serta mempertahankan hubungan itu kedalam setiap sesi terapi kita ikutkan kualitas manusia kita beserta pengalaman – pengalaman yang telah mempengaruhi kita. Dimensi manusia ini merupakan salah satu dari determinan kegiatan terapi pada klien yang paling kuat yang kita miliki. Apabila sebagai konselor kita mengharapkan terciptanya pertumbuhan dan perubahan dalam diri klien kita maka kitapun harus bersedia untuk menciptakannya dalam diri kita sendiri. Sumber yang paling kuat yang kita miliki untuk bisa mempengaruhi klien agar menuju kearah yang positif adalah contoh hidup yang kita berikan yang menggambarkan siapa kita sebenarnya dan betapa besar kemauan kita untuk secara terus – menerus berjuang demi potensi yang kita miliki.

CIRI – CIRI KONSELOR YANG EFEKTIF
Kecenderungan yang ada sekarang adalah penekanan pada hal yang dipercaya oleh konselor dan perilaku konselor.Banyak sumber pendidikan konseling yang memberi tekanan pada kemampuan terapis untuk bisa melihat, memahami, dan menerima keberadaan diri mereka dan diri orang lain. Kualitas hubungan antara klien dan konselorlah yang nampaknya paling bisa menciptakan pertumbuhan hubungan antara keduanya.
Menurut Combs ( 1986 ) melihat adanya perbedaan yang jelas antara ciri – ciri penolong yang efektif dan yang tidak efektif. Yang ternyata menjadi ciri perbedaan itu adalah hal yang dipercaya penolong tentang empati, diri, naluri manusia, dan tujuan – tujuan si penolong itu sendiri. Menurut Combs kajian itu menyiratkan bahwa keyakinan – keyakinan berikut ini ada kaitannya dengan sukses, yaitu : konselor yang efektif terutama  menaruh perhatian pada wajah dunia ini yang nampak dari sisi  yang menguntungkan di mata kliennnya. Ia memandang positif pada diri manusia, menaruh kepercayaan pada mereka, menganggap mereka semua mampu, bisa dipegang kata – katanya dan ramah. Para konselor yang sukses mempunyai pandangan positif terhadap diri mereka sendiri dan mempercayai kemampuan mereka. Sebagai konselor, intervensi yang mereka lakukan berdasarkan pada nilainya.
Dalam pelaksanaan konseling unsur konselor adalah pemegang peranan penting, sehingga perlu adanya karakteristik tertentu yang diharapkan untuk dimiliki oleh seorang konselor. Karakteristik dalam kepribadian konselor sangat  menentukan berhasil atau tidaknya proses konseling, disamping pengetahuan dan ketrampilan – ketrampilan profesional.
Belking dalam bukunya “Practical Counseling in the School” melukiskan dalam karakteristik konselor yang baik akan mempunyai arti penting dalam memberikan layanan pada clien. Belkin menggambarkan karakteristik-karakteristik yang baik mampu menumbuh kembangkan kemampuan klien. Klien akan mempunyai arah yang jelas dan mampu memecahkan masalahnya sendiri, bagaikan tumbuhan yang mendapatkan siraman air sejuk yang menjadikan tumbuhan tersebut menjadi segar dengan bunganya yang berkembang. Bagaimana siramannya? Digambarkan oleh Belkin sebagai berikut :
Sembilan karakteristik seorang konselor itulah yang akan mampu membantu klien untuk mengembangkan dirinya, sehingga mendapatkan kebahagiaan dalam hidupnya.
Kesembilan karakteristik itu adalah :1. Konfrontasi : berarti  menghadapkan  persoalan  kepada  klien, yang saat ini sedang dihadapi.Dengan konseling itu klien sadar terhadap persoalannya dan berusaha untuk memecahkan sendiri dengan bantuan konselor.
2. Tulus : dapat  juga  dikatakan   ikhlas,  berarti   melakukannya  tanpa   syarat, sehingga tidak  ada tawar  menawar. Pelaksanaan konseling tidak dibenarkan memakai syarat. Konselor harus  secara  tulus dan  ikhlas  menolong  klien  tanpa mengajukan persyaratan.
3. Jujur : maksudnya tidak berbohong, mengatakan apa sebenarnya, lahir sesuai dengan  batin. Secara  jujur  mau mengakai   apabila mempunyai kekurangan atau kelemahan. Tidak suka menipu.
4. Hangat : adanya resonansi psikologis yang dapat memberikan kepuasan dua belah pihak.  Kehangatan  ini  sangat  dibutuhkan  oleh setiap manusia dalam berhubungan dengan orang lain. Kehangatan dibentuk dalam suatu interaksi, dan ini akan dirasakan oleh yang bersangkutan. Untuk menciptakan diperlukan adanya hubungan yang akrab. Keakraban  akan menimbulkan kehangatan.
5. Empati : turut  merasakan  apa yang  dihayati oleh klien dan klien tahu kalau konselor memahami dirinya.
6. Jelas : dalam memberikan   konseling  janganlah  seperti  bentuk  teka-teki, jangan  samar – samar  kalau  berbicara atau memberikan pengarahan maka sebaiknya konselor menggunakan bahasa yang sederhana, mudah dimengerti oleh klien.
7. Polos : artinya  tanpa  prasangka,  kalau sudah ada prasangka terhadap klien, misalnya memberikan “cap”  kepada klien, ini berarti sudah ada prasangka, dan berarti tak   polos lagi. Dalam  Client  Centered Counseling diperlukan konselor  yang  polos, menghindari adanya  diagnosis,  mendiagnosis berarti sudah  memberikan  “merk”  kepada klien, berarti  ada prasangka, dan tidak polos lagi.
8. Hormat  :  memberikan  penghargaan kepada klien, memberikan kebebasan, klien dibiarkan tumbuh berkembang, dan mengembangkan bahkan  potensinya. Klien dihargai sebagai  manusia yang memiliki harga diri, dan memiliki potensi. Klien dihormati sebagaimana adanya.
9. Positive Regard  :  penghargaan   terhadap   klien  secara    positip.  Konselor yakin   bahwa klien mempunyai  kemampuan  menyelesaikan   masalahnya sendiri.  Tidak  ada  dugaan  terhadap  klien  secara  negatif, misalnya bahwa klien  adalah  orang  yang lemah, yang  tidak  mempunyai kemampuan untuk menolong  dirinya, orang   yang  sangat  tergantung,  dsb.  Untuk melengkapi ciri – ciri  apa  saja  yang   diharapkan  bagi   seorang   konselor  dibawah  ini dikutipkan  matriks  kualitas  konselor  dari Belkin, agar dapat dikrtauhi oleh para konselor dan calon konselor.

KONSELOR SEBAGAI SEORANG PROFESIONAL
Instrumen yang paling penting adalah diri konselor sendiri sebagai pribadi dan bahwa teknik yang paling ampuh adalah kemampuan konselor  mencontohkan daya hidup dan dunia nyata kepribadian konselor. Maka menjaga agar diri kita tetap penuh daya hidup adalah hal yang esensial. Kita perlu bekerja menangani faktor – faktor yang merupakan ancaman tersedotnya daya hidup kita dan membiarkan kita tidak berdaya. Mencari cara bagaimana kita bisa mengapliksasikan  yang akan dipelajari  untuk meningkatkan  kualitas hidup sehingga menuju profesionalisme itu sendiri.
Sebagai sebuah layanan profesional, layanan bimbingan dan konseling tidak dapat dilakukan secara sembarangan, namun harus dilakukan secara tertib berdasarkan prosedur tertentu, yang secara umum terdiri dari enam tahapan sebagai, yaitu: (A) Identifikasi kasus; (B) Identifikasi masalah; (C) Diagnosis; (D) Prognosis; (E) Treatment; (F) Evaluasi dan Tindak Lanjut
1.Identifikasi kasus
Identifikasi kasus merupakan langkah awal untuk menemukan peserta didik yang diduga memerlukan layanan bimbingan dan konseling. Robinson (Abin Syamsuddin Makmun, 2003) memberikan beberapa pendekatan yang dapat dilakukan untuk mendeteksi peserta didik yang diduga mebutuhkan layanan bimbingan dan konseling, yakni :
* Call them approach; melakukan wawancara dengan memanggil semua peserta didik secara bergiliran sehingga dengan cara ini akan dapat ditemukan peserta didik yang benar-benar membutuhkan layanan konseling.
* Maintain good relationship; menciptakan hubungan yang baik, penuh keakraban sehingga tidak terjadi jurang pemisah antara guru pembimbing dengan peserta didik. Hal ini dapat dilaksanakan melalui berbagai cara yang tidak hanya terbatas pada hubungan kegiatan belajar mengajar saja, misalnya melalui kegiatan ekstra kurikuler, rekreasi dan situasi-situasi informal lainnya.
* Developing a desire for counseling; menciptakan suasana yang menimbulkan ke arah penyadaran peserta didik akan masalah yang dihadapinya. Misalnya dengan cara mendiskusikan dengan peserta didik yang bersangkutan tentang hasil dari suatu tes, seperti tes inteligensi, tes bakat, dan hasil pengukuran lainnya untuk dianalisis bersama serta diupayakan berbagai tindak lanjutnya.
* Melakukan analisis terhadap hasil belajar peserta didik, dengan cara ini bisa diketahui tingkat dan jenis kesulitan atau kegagalan belajar yang dihadapi peserta didik.
* Melakukan analisis sosiometris, dengan cara ini dapat ditemukan peserta didik yang diduga mengalami kesulitan penyesuaian sosial.
2. Identifikasi Masalah
Langkah ini merupakan upaya untuk memahami jenis, karakteristik kesulitan atau masalah yang dihadapi peserta didik. Dalam konteks Proses Belajar Mengajar, permasalahan peserta didik dapat berkenaan dengan aspek : (1) substansial – material; (2) struktural – fungsional; (3) behavioral; dan atau (4) personality.
Untuk mengidentifikasi kasus dan masalah peserta didik, Prayitno dkk. telah mengembangkan suatu instrumen untuk melacak masalah peserta didik, dengan apa yang disebut Alat Ungkap Masalah (AUM). Instrumen ini sangat membantu untuk menemukan kasus dan mendeteksi lokasi kesulitan yang dihadapi peserta didik, seputar aspek : (1) jasmani dan kesehatan; (2) diri pribadi; (3) hubungan sosial; (4) ekonomi dan keuangan; (5) karier dan pekerjaan; (6) pendidikan dan pelajaran; (7) agama, nilai dan moral; (8) hubungan muda-mudi; (9) keadaan dan hubungan keluarga; dan (10) waktu senggang.
3.Diagnosis
Diagnosis merupakan upaya untuk menemukan faktor-faktor penyebab atau yang melatarbelakangi timbulnya masalah peserta didik. Dalam konteks Proses Belajar Mengajar faktor-faktor penyebab kegagalan belajar peserta didik, bisa dilihat dari segi input, proses, ataupun out put belajarnya. W.H. Burton membagi ke dalam dua faktor yang mungkin dapat menimbulkan kesulitan atau kegagalan belajar peserta didik, yaitu : (1) faktor internal; faktor yang besumber dari dalam diri peserta didik itu sendiri, seperti : kondisi jasmani dan kesehatan, kecerdasan, bakat, kepribadian, emosi, sikap serta kondisi-kondisi psikis lainnya; dan (2) faktor eksternal, seperti : lingkungan rumah, lingkungan sekolah termasuk didalamnya faktor guru dan lingkungan sosial dan sejenisnya.
4.Prognosis
Langkah ini dilakukan untuk memperkirakan apakah masalah yang dialami peserta didik masih mungkin untuk diatasi serta menentukan berbagai alternatif pemecahannya, Hal ini dilakukan dengan cara mengintegrasikan dan menginterpretasikan hasil-hasil langkah kedua dan ketiga. Proses mengambil keputusan pada tahap ini seyogyanya terlebih dahulu dilaksanakan konferensi kasus, dengan melibatkan pihak-pihak yang terkait dengan masalah yang dihadapi siswa untuk diminta bekerja sama guna membantu menangani kasus – kasus yang dihadapi.
5.Treatment
Langkah ini merupakan upaya untuk melaksanakan perbaikan atau penyembuhan atas masalah yang dihadapi klien, berdasarkan pada keputusan yang diambil dalam langkah prognosis. Jika jenis dan sifat serta sumber permasalahannya masih berkaitan dengan sistem pembelajaran dan masih masih berada dalam kesanggupan dan kemampuan guru pembimbing atau konselor, maka pemberian bantuan bimbingan dapat dilakukan oleh guru atau guru pembimbing itu sendiri (intervensi langsung), melalui berbagai pendekatan layanan yang tersedia, baik yang bersifat direktif, non direktif maupun eklektik yang mengkombinasikan kedua pendekatan tersebut.
Namun, jika permasalahannya menyangkut aspek-aspek kepribadian yang lebih mendalam dan lebih luas maka selayaknya tugas guru atau guru pembimbing/konselor sebatas hanya membuat rekomendasi kepada ahli yang lebih kompeten (referal atau alih tangan kasus).
6.Evaluasi dan Follow Up
Cara manapun yang ditempuh, evaluasi atas usaha pemecahan masalah seyogyanya tetap dilakukan untuk melihat seberapa pengaruh tindakan bantuan (treatment) yang telah diberikan terhadap pemecahan masalah yang dihadapi peserta didik.
Berkenaan dengan evaluasi bimbingan dan konseling, Depdiknas (2003) telah memberikan kriteria-kriteria keberhasilan layanan bimbingan dan konseling yaitu:
* Berkembangnya pemahaman baru yang diperoleh peserta didik berkaitan dengan masalah yang dibahas;
* Perasaan positif sebagai dampak dari proses dan materi yang dibawakan melalui layanan, dan
* Rencana kegiatan yang akan dilaksanakan oleh peserta didik sesudah pelaksanaan layanan dalam rangka mewujudkan upaya lebih lanjut pengentasan masalah yang dialaminya.
Sementara itu, Robinson dalam Abin Syamsuddin Makmun (2004) mengemukakan beberapa kriteria dari keberhasilan dan efektivitas layanan yang telah diberikan, yang terbagi ke dalam kriteria yaitu kriteria keberhasilan yang tampak segera dan kriteria jangka panjang.
Kriteria keberhasilan segera tampak, diantaranya apabila :
* Peserta didik (klien) telah menyadari (to be aware of) atas adanya masalah yang dihadapi.
* Peserta didik (klien) telah memahami (self insight) permasalahan yang dihadapi.
* Peserta didik (klien) telah mulai menunjukkan kesediaan untuk menerima kenyataan diri dan masalahnya secara obyektif (self acceptance).
* Peserta didik (klien) telah menurun ketegangan emosinya (emotion stress release).
* Peserta didik (klien) telah menurun penentangan terhadap lingkungannya
* Peserta didik (klien) telah melai menunjukkan sikap keterbukaannya serta mau memahami dan menerima kenyataan lingkungannya secara obyektif.
* Peserta didik (klien) mulai menunjukkan kemampuannya dalam mempertimbangkan, mengadakan pilihan dan mengambil keputusan secara sehat dan rasional.
* Peserta didik (klien) telah menunjukkan kemampuan melakukan usaha –usaha perbaikan dan penyesuaian diri terhadap lingkungannya, sesuai dengan dasar pertimbangan dan keputusan yang telah diambilnya.
* Sedangkan kriteria keberhasilan jangka panjang, diantaranya apabila:
* Peserta didik (klien) telah menunjukkan kepuasan dan kebahagiaan dalam kehidupannya yang dihasilkan oleh tindakan dan usaha-usahanya.
* Peserta didik (klien) telah mampu menghindari secara preventif kemungkinan-kemungkinan faktor yang dapat membawanya ke dalam kesulitan.
* Peserta didik (klien) telah menunjukkan sifat-sifat yang kreatif dan    konstruktif, produktif, dan kontributif secara akomodatif sehingga ia diterima dan mampu menjadi anggota kelompok yang efektif.
SUMBER

Abin Syamsuddin Makmun. 2003. Psikologi Pendidikan. Bandung : PT Rosda Karya Remaja.
Depdiknas, 2004. Dasar Standarisasi Profesi Konseling. Jakarta : Bagian Proyek Peningkatan Tenaga Akdemik Dirjen Dikti
Prayitno, dkk. 2004. Pedoman Khusus Bimbingan dan Konseling, Jakarta : Depdiknas.
Pujosuwarno S.DR. 1992. Petunjuk Praktis Pelaksanaan Konseling, Yogyakarta : Menara Mas Offset
Corey Gerald. 1995. Teori dan Praktek Dari Konseling dan Psikoterapi, Semarang : IKIP Semarang Press


0 komentar:

Posting Komentar