Pages

Subscribe:

Kamis, 31 Mei 2012

PANCASILA SEBAGAI DASAR NEGARA, ASAS ETIKA POLITIK DAN ACUAN KRITIK IDEOLOGI

PANCASILA SEBAGAI DASAR NEGARA, ASAS ETIKA
 POLITIK DAN ACUAN KRITIK IDEOLOGI

1. Pengantar
Sebagian besar dari kehidupan kita, termasuk kehidupan berbangsa dan bernegara, atau kehidupan politik, kita lewatkan atas dasar “common sense” atau yang kerapkali disebut sebagai “akal sehat”. “Common sense” adalah pengetahuan sehari-hari, yang tidak kita pertanyakan  kebenarannya, tetapi kita andaikan “benar”, taken for granted. Tetapi salah satu ciri khas manusia adalah “mempertanyakan”. Ia tidak puas dengan “common sense”, ia terdorong untuk mengangkat apa yang dialami menjadi pertanyaan. Begitu kita mengajukan “pertanyaan”, “interrogating” kita mengatasi “common sense”. 
Mempertanyakan, interrogating adalah awal dari perkembangan ilmu pengetahuan dan filsafat. Ilmu pengetahuan mempertanyakan  segala sesuatu termasuk manusia sampai batas tertentu atau dalam perspektif tertentu, yaitu perspektif instrumental. Ilmu pemgetahuan mempertanyakan dan mencari jawaban atas pertanyaannya untuk digunakan bagi kepentingan manusia.
Filsafat mempertanyakan  segala sesuatu, khususnya yang menyangkut  “nasib” diri manusia, lebih jauh dari ilmu pengetahuan. Mempertanyakan siapakah  dan apakah aku ini adalah awal dari filsafat manusia, dimana manusia ingin memperoleh makna dari dirinya. “Pahamilah dirimu” demikian kata Sokrates. Mempertanyakan manusia berarti mencari jalan bagaimana manusia mencapai tujuan hidupnya, yaitu semakin menjadi manusiawi. Dalam pengertian ini bila filsafat harus mati, kemanusian akan meredup tak lama kemudian. Berhenti bertanya hanya akan berakibat kemandekan dan berhentinya perkembangan.  Dalam kaitan ini  filsafat tidak hanya merupakan “disiplin (ilmu) yang mempertanyakan”, tetapi juga ‘disiplin (ilmu) yang membebaskan”. Dalam arti apa? Manakala kita mengangkat pertanyaan, kita dibebaskan dari jawaban yang tidak dipertanyakan, yaitu jawaban berdasarkan “common sense” semata, yang diandaikan benar. Dalam setiap pertanyaan kita mengatakan “tunggu sebenar”: ada yang lebih dari ini atau itu. Bahkan ada “ekses” dari realitas, yang tidak tertampung dari suatu konsep yang sekarang kita miliki, “ada yang lebih” yang terbelenggu oleh berbagai struktur yang melilit kita.

2. Tiga Fungsi Filsafat
Ada begitu banyak  pengertian mengenai filsafat dan cara berfilsafat serta corak filsafat. Di depan sudah dikatakan bahwa filsafat itu berkembang dengan “mempertanyakan”, “interrogating”. Dalam kaitan dengan Pancasila, ada  sedikitnya tiga fungsi filsafat, yang saling terkait satu dengan lainnya.
1) Pertama filsafat mempertanyakan dan mencari “dasar”. Sejak awal filsafat Yunani telah dipertanyakan apakah “dasar” dari dunia kita, apakah “dasar” dari perubahan, apakah “dasar” dari persamaan dan perbedaan manusia, apakah “dasar” dari kebebasan manusia, apakah “dasar” dari kehidupan suatu “polis”?
2) Kedua, filsafat mempertanyakan, mencari dan menemukan makna dari realitas di sekelilingnya,  asal dan tujuan hidup manusia.  Seringkali  dikatakan bahwa filsafat mempertanyakan nilai dari suatu realitas dan tindakan manusia. Maka filsafat dapat mencerahi kehidupan manusia.
3) Ketiga, filsafat berfungsi pula sebagai kritik ideologi. Filsafat berusaha untuk membuka selubung dari berbagai sistem pemikiran, yang membelenggu manusia, terutama kebebasannya.  Pengetehuan dan kekuasaan saling berpautan. Marx telah memberi contoh bagaimana melakukan suatu kritik ideologi terhadap ideologi kapitalis.
Dari uraian di atas, Filsafat Pancasila dapat dilihat pertama, sebagai eksplisitasi secara filosofis  Pancasila sebagai dasar Negara; kedua, filsafat Pancasila sebagai etika politik; ketiga, filsafat Pancasila sebagai kritik ideologi, termasuk kritik terhadap distorsi dan penyalahgunaan Pancasila secara ideologis.
3. Pancasila sebagai Dasar Negara      
Fungsi filsafat yang pertama adalah mempertanyakan dan menjawab  “apakah dasar dari kehidupan berpolitik atau kehidupan berbangsa dan bernegara.  Sangat lah tepat pertanyaan yang diajukan oleh  Ketua BPUPKI, Dr. Radjiman Wediodiningrat di hadapan rapat BPUPKI bahwa “Negara Indonesia yang akan kita bentuk itu apa dasarnya”? Soekarno menafsirkan pertanyaan itu sebagai berikut: “Menurut anggapan saya, yang diminta oleh Paduka tuan Ketua yang mulia ialah dalam bahasa Belanda: ‘philosophische grondlsag’  dari pada Indonesia Merdeka. Philosophische grondslag itulah fundamen, filsafat, pikiran yang sedalam-dalamnya, jiwa, hasrat yang sedalam-dalamnya untuk di atasnya didirikan gedung Indonesia Merdeka.”1) “Dasar Negara” dapat disebut pula “ ideologi negara”, seperti dikatakan oleh Mohammad Hatta: “Pembukaan  UUD, karena memuatnya di dalamnya Pancasila sebagai ideologi Negara, beserta dua pernyataan lainnya  yang menjadi bimbingan pula bagi politik negeri seterusnya, dianggap sendi daripada hukum tatanegara Indonesia. Undang-undang ialah pelaksanaan daripada pokok itu dengan Pancasila sebagai penyuluhnya, adalah dasar mengatur politik Negara dan perundang-undangan Negara, supaya terdapat Indonesia  merdeka seperti dicita-citakan: merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur”2)
Kalau seringkali dikatakan mengenai ideologi Pancasila, sebetulnya yang dimaksudkan tidak lain adalah Pancasila sebagai dasar Negara, sebagaimana dikatakan Bung Hatta, “ideologi Negara”., yaitu prinsip-prinsip atau asas membangun Negara. Jadi Pancasila bukanlah suatu “doktrin” yang lengkap, yang begitu saja dapat dijabarkan  dalam tindakan, tetapi suatu orientasi, yang memberikan arah kemana bangsa dan negara harus dibangun atau  suatu dasar rasional, yang merupakan hasil  konsensus mengenai asumsi-asumsi tentang Negara dan bangsa yang akan dibangun.
Karena masing-masing sila dari Pancasila akan diuraikan dalam rangkaian diskusi dalam Kongres ini, maka kami hanya akan memberikan catatan kecil saja:
1)    Sila “Keruhanan Yang Maha Esa” dirumuskan dalam konteks politik: membangun Negara dan bangsa Indonesia, maka merupakan suatu prinsip politik, bukan suatu prinsip teologis. Implikasinya  ialah bahwa Negara mengakui dan melindungi kemajemukan agama di Indonesia; Negara tidak menilai “isi” dari suatu agama. Penganut agama apapun wajib bersatu untuk membangun Negara dan bangsa. Hal ini sangat jelas dari ajakan Soekarno dalam pidato “Lahirnya Pancasila” untuk bersama-sama membangun Negara dan bangsa Indonesia
2)    Sila “Perikemanusiaan  yang adil dan beradab”mengimplikasikan  bahwa Negara memperlakukan setiap warganegara atas dasar pengakuan martabat manusia dan nilai kemanusiaan yang mengalir dari martabatnya itu.Jelaslah bahwa sila kedua ini menolak kekerasan yang dilakukan terhadap warganegara baik oleh Negara, kelompok atau individu. Kekerasan yang paling keji adalah kekerasan yang dilakukan terhadap inti martabat manusia sendiri, yaitu kebebasannya.”Hewan mencari mangsanya. Mangsa Manusia adalah kebebasan”.3). Kekerasan pada jaman sekarang kerapkali dikaitkan dengan identitas, religius atau etnik, yang lebih banyak diproduksi daripada direproduksi
3)    Sila “Persatuan Indonesia” terkait dengan faham kebangsaan. Bangsa bukan sesuatu yang diwariskan dari masa lalu, tetapi suatu “proyek dan tantangan bersama” bagi masa kini dan masa depan.4). Oleh karena itu harus melibatkan semua dan tak seorangpun warga yang dieksklusifkan.
4)    Prinsip demokrasi yang dirumuskan sebagai “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaran/perwakilan”,  menunjuk kepada pembatasan kekuasaan Negara dengan partisipasi  rakyat dalam pengambilan keputusan. “Kita dapat berbicara mengenai sistem demokratik, apabila unsur-unsur konstitusi, hukum dan sistem parelemen menerapkan tiga prinsip: pembatasan kekuasaan Negara atas nama hak asasi, keterwakilan pelaku politik dan kewarganegaraan.”5)
5)    Sila “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” paling sedikit memuat unsur-unsur: pemerataan, persamaan dan kebebasan untuk menentukan dirinya sendiri.
4. Pancasila sebagai dasar etika politik
Dengan dipilihnya Pancasila sebagai dasar hidup bernegara dan berbangsa atau sebagai dasar hidup berpolitik, maka politik tidaklah netral, tetapi harus dilandasi nilai-nilai etis. Itulah salah satu tugas filsafat politik: mencerahi makna berpolitik dan mengekplisitkan nilai-nilai etis dalam politik yang didasarkan atas Pencasila.
Ada anggapan negatif dan sikap skeptik  serta sinis terhadap politik. Ada kecenderungan untuk menghindar dari politik. Namun perlu dicattat beberapa hal: pertama, mau tidak mau kita tidak dapat lepas dari politik. Segala kegiatan kita mengandaikan kerangka Negara dan masyarakat. Kedua, berbagai kesulitan yang dihadapi dunia modern, seperti peningkatan kesejahteraan, lingkungan hidup, kesenjangan sosial-ekonomi, pendidikan, pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tidak dapat dipecahkan dengan meninggalkan politik, tetapi mengadakan transformasi politik sedemikian rupa, sehingga memungkin kita membentuk dan mengorganisir kehidupan  secara efektif. Ketiga, sikap sinis dan skeptik terhadap politik, bukan hal yang tak terhindari. Dengan membangun kredibilitas dan kelayakan  suatu model alternatif dan imaginatif institusi politik, ketidakpercayaan akan pilitik bisa diatasi.6)
David Held mengartikan politik sebagai berikut: “Politik adalah mengenai kekuasaan, yaitu mengenai kapasitas pelaku sosial dan institusi sosial untuk mempertahankan  atau mentransformir lingkungannya, sosial dan fisik. Politik menyangkut sumber-sumber yang mendasari kapasitas ini dan mengenai kekuatan-kekuatan yang membentuk dan mempengaruhi operasi dari kekuatan itu. Oleh karena itu, politik  adalah suatu fenomena yang diketemukan di dalam dan di antara institusi dan masyarakat, melintasi kehidupan publik dan privat. Politik terungkap di dalam  semua aktivitas kerjasama, negosiasi dan perjuangan dalam penggunaan dan distribusi sumberdaya. Politik terlibat dalam semua relasi, institusi dan struktur yang melekat dalam aktivitas produksi dan reproduksi dalam kehidupan masyarakat. Politik menciptakan dan mengkondisikan semua aspek kehidupan kita. Politik berada pada inti perkembangan permasalahan dalam masyarakat dan cara kolektif penyelesaian masalah tersebut.”7)
Bagi Aristoteles manusia akan menjadi sempurna dan mencapai tujuan kodratinya, kalau ia hidup dalam polis (negara-kota). Suatu Negara ada, demi hidup baik dan bukan hanya untuk hidup saja. Seperti dikatakan H. Arend, “Polis sebenarnya bukanlah Negara-kota (city-state) dalam lokasi fiknya; polis adalah organisasi masyarakat yang muncul dari perbuatan dan  pembicaraan bersama  dan ruang yang sebenarnya terletak di antara orang yang hidup bersama untuk tujuan itu, tak peduli dimanapun terjadi.”8) Maka istilah politik menunjuk kepada  aktivitas dari polis, dimana kesejahteraan bersama dideliberasikan  dan keputusan  yang secara kolektif mengikat dibuat. Jadi  politik muncul dari  tindakan bersama, “sharing of words and deeds”.  Ada hal-hal yang dapat kita petik dari kehidupan politik pada jaman Yunani itu, meskipun harus diakui bahwa ada contoh yang jelek yang terjadi pada waktu itu, misalnya wanita dan budak tidak termasuk dalam warganegara.  Ada anggapan pada waktu itu bahwa mereka yang berhasil dalam kehidupan politik, yaitu hal-ihwal kehidupan dalam Negara, akan mencapai kebaikan tertinggi. Kehidupan  bersama dalam Negara (polis) akan mencapai kebaikan yang lebih besar, karena dilakukan bersama. Maka kehidupan bersama dalam Negara  tidak hanya akan melindungi individu dan hak miliknya (sebagaimana jaman sekarang dituntut oleh liberalisme), tetapi harus menciptakan keunggulan manusiawi (arête). Kodrat manusia mendorong, agar Negara berperan dalam mengembangkan potensi manusia, mengajarkan kita untuk mencintai yang baik dan membuat warganegara menjadi lebih baik dengan menciptakan kebiasaan yang baik (inilah arti utama dari “pendidikan politik”). Maka dapat dikatakan bahwa bagi Aristoteles, Negara atau polis  adalah “perkumpulan teman-teman yang saling memprovokasi untuk berbuat kebajikan. Politik adalah suatu aktivitas etis, yaitu bersangkut paut dengan masalah bagaimana kita harus hidup dalam suatu masyarakat politik.
Michel Foucault mengatakan bahwa politik pada masa ini ditandai oleh “pendisiplinan” dan “penundukan” yaitu pemaksaan agar manusia berperilaku tertentu. Ini disebut “biopower”. Politik adalah pengaturan dan penguasaan hidup dan biopower ini secara fundamental modern, yaitu manakala kehidupan manusia dipertaruhkan oleh strategi politiknya sendiri. Dengan lain perkataan, kehidupan manusia menjadi objek politik itu sendiri. Ini yang menjadi ciri dari politik modern, berbeda dari politik di masa lalu.
Berbeda dari Foucault, Giorgio Agamben dalam Homo Sacer: Sovereign Power and Bare Life,9) berpendapat bahwa tidak benar kehidupan manusia selalu menjadi objek dari politik. Ia mengingatkan bahwa dalam Buku Pertama Politics (1.2.8) Aristoteles membedakan antara “kehidupan yang begitu saja” atau “kehidupan biologis semata”(bare life, nuda vita, kehidupan telanjang, kehidupan biologis, to zen) dan “hidup yang baik” (eu zen). Kehidupan politik mengatasi kehidupan  “yang biologis melulu” menjadi “sesuatu yang lebih”, yaitu lebih manusiawi. Yang menjadi ciri politik adalah  perwujudan  kemampuan manusia untuk menstrukturkan suatu kehidupan bersama dalam komunitas yang tidak memaksa, yang mampu melakukan refleksi deliberatif atas pertanyaan apakah keadilan itu dan sarana konkrit apa untuk mencapainya?  “Keadilan  melekat dalam polis; karena keadilan, yang adalah penentuan apa yang adil, adalah pengaturan persekutuan politik” (Politics 1.2.66). Agamben  menarik perhatian kita pada apa yang dikatakan oleh Aristoteles mengenai bahasa dalam Politics 1.2.16: Agar menjadi  benar-benar manusiawi orang harus menjadi anggota polis, karena hanya dengan begitu, ia dapat berbicara. “Mengeluarkan suara  berfungsi untuk menunjukkan  kesenangan atau kesakitan, dan ini suatu kemampuan yang  dimiliki hewan pada umumnya….. Tetapi bahasa berfungsi untuk…..menyatakan apa yang adil dan tidak adil”. Disini kehidupan di lihat tidak hanya sebagai suatu fakta, tetapi suatu capaian. Capaian itu adalah kebudayaan. Agamben menyebut kehidupan biologis semata sebagai “inklusif eksklusif (un ‘ esclusione inclusive). Maksud dari pernyataan itu ialah bahwa  kehidupan yang baik (eu zen) bukan kehidupan biologis semata, namun kehidupan yang baik juga  merupakan  perkembangan dari kehidupan biologis semata. Politik seolah-olah merupakan tempat dimana kehidupan harus mengalami transformasi menjadi kehidupan yang baik. Tetapi ini bukan suatu capaian dari Aufhebung dari kehidupan biologis semata. Aufhebung politik tidak pernah tercapai, identitas tak pernah selesai’
Dengan ditetapkannya Pancasila sebagai dasar negara, kehidupan politik  memiliki dimensi etis, bukan sesuatu yang netral. Nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila mendorong warganegara untuk berperilaku etis dalam politik.
     Apabila nilai-nilai Pancasila itu dapat ditransformasikan ke dalam ethos masyarakat, maka  akan menjadi  pandangan hidup atau Weltanschauung. Pandangan hidup dapat  dilihat sebagai suatu cultural software, suatu perangkat lunak budaya. Pandangan hidup adalah suatu cara memahami dunia dan kehidupan sosial, suatu kosmologi masyarakat. Sebagai perangkat lunak budaya  pandangan hidup berperan dalam mengkonstruksikan  dunia sosial dan politik. Tetapi pandangan hidup itu selalu berada dalam kontestasi dan negosiasi dengan pandangan hidup lainnya. Cultural software dikopi dalam setiap individu melalui sosialisasi, interaksi dan komunikasi. Fungsi cultural software mirip dengan apa yang disebut Gadamer “tradisi”: tradisi melengkapi kita dengan pra-pemahaman yang memungkinkan kita membuat penilaian mengenai dunia sosial  Sejauh masyarakat memiliki kopi yang kurang lebih sama, maka pemahaman budaya mereka adalah pemahaman budaya bersama.10).
5. Pancasila Sebagai Acuan Kritik Ideologi
Agnes Heller membedakan “yang politik” dengan “politik” (politics). Istilah “yang politik” menunjukkan domain, atau lingkup dimana deliberasi terjadi,  Sedangkan  istilah “politik” (politics), merujuk kepada aktivitas yang terjadi dalam lingkup itu.11) Ini mempunyai implikasi pada masalah sejauh mana ‘ruang lingkup politik” (Apakah batas  kekuasaan politik?, Siapa memiliki hak untuk melaksanakan kekuasaan politik itu? Isu-isu apa yang relevan bagi politik  Kalau dalam masa Yunani kuno “yang sosial” dan “yang politik” terjadi tumpang tindih, sementara  dalam modernitas  hal itu tidak terjadi.
Para “founding fathers” sejak awal telah melakukan suatu “kritik ideologi”, meskipun pada jaman itu model alternatif terhadap ideologi-ideologi besar (liberalisme dan sosialisme) masih  terbatas. Ada dua tradisi mengenai konsepsi mengenai  “yang sosial” dan “yang politik” dan interaksi antara keduanya. Politik  di dalam demokrasi liberal kapitalis didasarkan pada premis konsepsi mengenai individu sebagai unit utama moral dan politik. Karenanya  hak dan kebebasan didefinisikan lebih dalam kerangka individual. Hak-hak ini  memberikan prioritas kepada kepentingan pribadi individual di atas kepentingan umum. Asumsinya ialah bahwa  individu dengan usahanya sendiri dapat memenuhi kebutuhannya tanpa terlalu banyak intervensi dari Negara. Namun dengan berkembangnya demokrasi dan kewarganegaraan, model liberal dianggap tidak memadai. Kritik terhadap ideologi demikian pada abad ke 19 dilontarkan oleh Marx, yang menyatakan bahwa kewarganegaraan modern lebih menguntungkan individu dari kelas borjuis. Pada abad ke 20 negara-negara modern telah menyesuaikan diri dengan kritik ini dengan memperluas “hak-hak sosial” pada  kesehatan, kesejahteraan dan jaminan sosial. Namun Negara haruslah berintervensi dalam ekonomi dan masyarakat, lebih dari masa sebelumnya .12} Dengan demikian  “yang politik” lebih masuk ke dalam “yang sosial. Inilah salah satu makna “akhir dari ideologi”, seperti dikemukakan oleh Daniel Bell. Tak ada lagi ideologi yang murni,  melalu “liberal” atau  melulu “sosialis”. Pancasila dan UUD 1945  mencari keseimbangan dan perpaduan antara keduanya.
Dinamika Pancasila terletak dalam ketegangan antara “ideologi” dan “utopia”. Pancasila sebagai ideologi memberi arah pembangunan sistem sosial dan politik. Sistem yang dibangun tidak pernah merupakan perwujudan utuh dari Pancasila, maka selalu bisa dikritik. Bisa terjadi juga Pancasila Pancasila sebagai “ideologi” membenarkan dan meneguhkan sistem yang dibangun untuk kepentingan kelompok tertentu, sehingga menjadi mandeg. Maka atas dasar Pancasila itu pula dapat dilakukan kritik. Mungkin dapat dikatakan dari perspektif ini Pancasila merupakan “utopia”. Utopia dapat bersifat “subversif”, menggoncangkan sistem-sistem yang dibangun berdasarkan orientasi ideologi. Utopia dapat menciptakan kreatifitas dengan imaginasi sosialnya.
Sebagai kesimpulan, Pancasila dapat dikembangkan menjadi filsafat dalam tiga arah:
1)    Sebagai “Filsafat Pancasila”, yang merupakan refleksi kritis atas dasar  hidup bernegara.
2)    Sebagai “Etika Politik” yang merupakan refleksi kritis atas nilai-nilai etis yang terkandung dalam Pancasila.
3)    Sebagai “Kritik Ideologi” yang merupakan refleksi kritis dalam mengevaluasi berbagai ideologi lainnya.
CATATAN

1.    Soekarno, “Lahirnja Pantja Sila” dalam: Tjamkan Pantja Sila. Departemen Penerangan R.I, 1964.
2.    Mohammad Hatta, Pengertian Pancasila. Jakarta: Idayu Press, 1977, h. 1, sebagaimana dikutip oleh Todung Mulya Lubis “Pancasila, Globalisasi, dan Hak Asasi Manusia, “dalam:  Restorasi Pancasila. Mendamaikan Politik Identitas dan Modernitas. Penyunting, Irfan Nasution dan Ronny Agustinus, Jakarta:  Perhimpunan Pendidikan Demokrasi, 2006, h. 332..
3.    J.-M. Domenach, “The Ubiquity of Violence,” International Social Science Journal, 30 (1978), h.719..
4.    B. R. O’G.,Anderson, “ Indonesian Nationalism Today and in the Future,” Indonesia 67 (April 1999).
5.    Alain Touraine, What is Democracy” Boulder, Colorado: Westview Press, 1997, h. 72.
6.    David Held, Models of Democracy. Cambridge: Polity Press, 1998, h. 295-297.
7.    David Held, Ibid., 30
8.    H. Arend, The Human Condition. Chicago and London: The University of Chicago Press, 1998, h. 198.
9.    Giorgio Agamben, Homo Sacer: Sovereign Power and Bare Life. Standford: Standford University Press,1998. Uraian mengenai pandangan Agamben, kami ambil dari: Andrew Norris, “Giorgio Agamben and the Politics of the Living Dead”, Diacritics, Vol.30, No. 4 (winter, 2000), h. 38-39
10.    Lihat mengenai ini: J.M.Balkin, Cultural Software. A Theory of Ideology. New Haven & London: Yale University, 1998.
11.    James Martin, “The Social and the Political”, dalam: Fidelma Ashe, et alii, Contemporary Social & Political Theory.  Buckingham, Philadelphia: Open University Press, 1999, h.156
12.    James Martin, op.cit., h.161-162.
13.    Lihat Fred Dallmayr, Dialogue Among Civilization. Some Exemplary Voices. New York: Palgrave Macmillan, 106-118.

0 komentar:

Posting Komentar